Minggu, 23 Februari 2014

Akhirnya Saya Bertetangga

Semasa saya kecil hingga menjadi dewasa, saya adalah orang yang cenderung cuek terhadap tetangga sekitar. Saya juga tidak banyak terlibat dalam agenda-agenda remaja kampung, terlebih karena saat beranjak remaja saya tinggal di pesantren. Lulus pesantren dan lanjut kuliah pun saya tidak lantas berkecimpung dalam urusan domestik rukun kampung, justru saya banyak bergaul dan melakukan berbagai kegiatan sosial di luar. Saat itu saya berpikir bahwa ibu saya sudah cukup mewakili keberadaan keluarga kami di kampung,apalagi ibu dikenal sebagai sosok yang entengan oleh para tetangga.

Saat masih unyu-unyu, saya memang anak yang sedikit introvert dan mungkin aneh. Masa taman kanak-kanak saya lalui dengan hambar. Tak banyak anak sebaya yang mau berteman dengan saya. Bahkan tak jarang saya harus melamun saat jam istirahat karena tak satupun teman yang mengijinkan saya menyentuh mainan di sekolah. Ditambah lagi, saya menderita TBC akut saat itu,sehingga saya sering absen sekolah.

Sifat geeky saya berlanjut hingga sekolah dasar. Saya tetap gadis aneh yang matanya pernah ditusuk pensil oleh teman sekelas karena saking tak sukanya dia pada saya. Saya yang bertubuh ceking pun mendapat panggilan paraban dari teman-teman.Biting alias lidi menjadi panggilan tetap saya hingga lulus SD. Bahkan saya akan merasa aneh ketika ada teman yang memanggil nama asli saya.

Tapi entah apa yang terjadi, saya sendiri pun tak ingat pasti. Pada catur wulan pertama kelas 4 SD, saya tiba-tiba saja mendapat tempat di tiga besar juara kelas. Padahal sebelumnya ranking saya takpernah beranjak dari sepuluh atau delapan. Sejak saat itulah beberapa teman mulai mendekat. Saya yang jarang membawa uang jajan pun kadang bisa tersenyum manis mendapat tawaran makanan dari teman sekelas. Saya entah bagaimana berubah menjadi gadis yang biasa saja. Mau berteman dan punya banyak teman. Apalagi ranking saya terus naik dan bertahan berturut-turut menjadi juara pertama. Saya juga sering didaulat menjadi perwakilan sekolah dalam berbagai lomba.

Masa-masa selanjutnya menjadi masa gemilang bagi saya. Saya tidak pernah lepas dari berbagai ‘jabatan penting’ di bangku sekolah menengah maupun di universitas. Selain menjadi ketua kelas, saya juga pernah menjadi sekretaris OSIS,wakil OSIS, dan ketua OSIS. Saya pun memimpin marching band alias jadi mayoret dan juga memimpin grup paskibra sekolah.

Saat kuliah, saya menjadi wakil ketua di angkatan saya, menjadi sekretaris himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) , dan akhirnya menjadi ketua HMJ. Berkat kiprah saya di beberapa agenda universitas, saya pernah diusulkan untuk menjadi calon ketua BEM fakultas. Usulan tersebut saya tolak dengan berbagai alasan meski para pendukung sempat membuat demonstrasi yang cukup besar untuk mencalonkan saya.

Yah, tetapi semua pengalaman saya tersebut tetap saja tidak bisa membuat saya jadi lebih lekat dengan tetangga saya. Saya akan pergi rewangan kalau ibu juga ada di lokasi hajatan. Jika ibu pulang, saya pun memilih pulang. Lebih sering lagi saya bengong ketika berada di tempat hajatan, tak tahu harus berbuat apa dan tak ada juga yang menjawil saya memberi kerjaan. Saya bahkan tidak banyak kenal nama-nama tetangga saya..

Hal tersebut berlanjut saat saya telah menikah dan masih nebeng mertua. Mertua saya tetap menjadi kepala keluarga dalam rumah tangga saya. Saya mau rewangan, mau nyumbang atau ikut arisan, keputusan tersebut masih di tangan mertua saya. 

Akan tetapi saya pun melewati fase selanjutnya,yaitu saat saya sudah berumah sendiri. Jauh dari orang tua dan mertua. Saya mengatur rumah tangga saya sendiri dan juga memutuskan segala perilaku saya sendiri. Sejak itulah muncul kesadaran dalam diri saya akan pentingnya bertetangga baik. Ketika jauh dari keluarga, tak ada lagi yang bisa kita andalkan selain pertolongan tetangga. Saya yang tadinya sering mengurung diri di rumah pun mulai sedikit demi sedikit ikut nimbrung obrolan ibu-ibu. Otomatis pula saya mendapat undangan atau jawilan dari tetangga tentang berbagai agenda hajatan di komplek rumah saya. Ada perasaan yang terasa lain ketika saya bisa nyumbang dengan nama keluarga saya sendiri dan dengan jumlah yang saya tentukan sendiri. 

Dan sensasi puncaknya adalah ketika saya -yang baru pertama kali ikut arisan- akhirnya mendapat arisan. 

Hidup bertetangga memang penuh dengan lika-liku, rasanya tentu berbeda dengan berteman saat masa sekolah, mengingat tetangga adalah ‘teman abadi’ kita hingga kita tua nanti. Rukun dengan tetangga juga bisa memberikan efek tentram dalam diri karena dengan demikian kita bisa mendapat perlindungan sosial yang lebih menjamin daripada asuransi jenis apapun. Hehehe..

So, baik-baiklah dengan tetanggamu..


0 komentar:

Posting Komentar