Kota tukang sayur, kesan pertama yang saya tangkap saat
menginjakkan kaki di Ungaran, sebuah kecamatan di Kabupaten Semarang. Bagaimana
tidak, saya bisa menemukan tukang sayur dimana-mana, baik yang buka lapak di
rumah sendiri, keliling dengan mobil pick-up
, keliling dengan sepeda motor berkeranjang, hingga tukang sayur yang memanggul
dua keranjang bertongkat. Jenis yang terakhir tadi seringkali dilakukan oleh
tukang sayur yang sudah udzur dengan dagangan sayur ala kadarnya.
Di perumahan tempat saya mengontrak sebelumnya,paling tidak
ada empat tukang sayur yang biasa ‘mangkal’. Awalnya saya berpikir hal tersebut
wajar,mengingat area perumahan tersebut cukup padat penduduk. Akan tetapi, saat
saya pindah ke rumah baru di area perumahan yang baru beberapa biji saja, saya
terheran-heran ternyata ada tiga tukang sayur mangkal bahkan kadang lebih. Jauh
berbeda dengan kota kelahiran saya, yang meskipun pemukiman padat tapi tukang
sayurnya tak ‘sepadat’ di Ungaran.
Setelah setahun lebih saya menjadi langganan ketiga tukang
sayur tersebut, ternyata mereka memiliki spesifikasi dan pangsa pasar
tersendiri. Jadi meskipun persaingan cukup ketat tetapi mereka bisa bertahan.
Tukang sayur pertama, datang sekitar pukul lima pagi. Dagangannya
memang selalu terkesan berantakan dan harganya memang lebih murah dari tukang
sayur yang lain. Biasanya langganan Pak Roni, nama si tukang sayur, adalah para
ibu pekerja yang tidak memiliki ART alias asisten rumah tangga. Mereka tentu
harus masak lebih pagi dan menyiapkan semua makanan sebelum berangkat bekerja. Pak
Roni orang yang cukup ramah, banyak bercanda, tetapi penampilannya selalu
terlihat baru bangun tidur. ‘Baju kerja’ sehari-harinya adalah sweater butut
berwarna coklat, ia pun tidak pernah menggunakan helm. Dan Pak Roni libur
berdagang setiap hari Senin.
Tukang sayur selanjutnya datang sekitar pukul setengah tujuh
pagi. Saya tidak kenal namanya, tapi menurut saya dia tipe tukang sayur yang mriyayi. Liburnya pun mirip PNS, tiap
Sabtu dan Minggu. Dagangannya tentu berbeda dengan tukang sayur sebelumnya,
selalu tertata rapi dan terlihat fresh,
baik sayuran maupun aneka lauknya. Mirip dagangan di supermarket, hehehe.. Penampilannya
pun terlihat rapi dengan kemeja, sepatu, dan topi. Sekalipun harganya sedikit mahal,tapi
saya suka belanja di tukang sayur ini. Sayuran yang terbeli tidak akan ada yang
mubadzir dibuang percuma karena busuk atau berulat. Si bapak selalu bilang, dia
selalu menyeleksi dulu setiap sayur yang akan dijualnya. Lauknya pun sangat bermacam-macam, ada aneka
daging, seafood, hingga frozen food. Keunggulan
lainnya adalah buah-buahan yang juga variatif.
Tukang sayur terakhir, datang siang hari sekitar pukul sembilan dan libur setiap hari Minggu. Tentu
saja pelanggannya adalah ibu-ibu rumah tangga. Lek Muh, panggilan tukang sayur
tersebut. Kualitas dagangannya
hampir mirip dengan Pak Roni, tapi lebih variatif. Untuk harga bumbu-bumbu
dapur, dagangan Lek Muh inilah yang paling murah sehingga saya pun sering
belanja pada Lek Muh. Belanja di Lek Muh pun cukup menyenangkan karena tentu
saja dibumbui obrolan panjang antar pembeli. Terkadang informasi-informasi penting perihal kegiatan komplek bisa didapatkan dari obrolan di tukang sayur.
Yah, tukang sayur adalah salah satu ‘pahlawan’ saya juga. Saya
yang sama sekali tidak berbakat belanja di pasar ini, bisa memenuhi kebutuhan belanja harian dari para tukang sayur .Mereka menyelamatkan keluarga saya dari
kekurangan gizi tentunya. Dan semahal-mahalnya tukang sayur lebih mahal lagi supermarket. Jadi, Go Ungaran Go Tukang Sayur, hehehe..