Minggu, 07 Desember 2014

Behind The Scene of Tukang Sayur



Kota tukang sayur, kesan pertama yang saya tangkap saat menginjakkan kaki di Ungaran, sebuah kecamatan di Kabupaten Semarang. Bagaimana tidak, saya bisa menemukan tukang sayur dimana-mana, baik yang buka lapak di rumah sendiri, keliling dengan mobil pick-up , keliling dengan sepeda motor berkeranjang, hingga tukang sayur yang memanggul dua keranjang bertongkat. Jenis yang terakhir tadi seringkali dilakukan oleh tukang sayur yang sudah udzur dengan dagangan sayur ala kadarnya.

Di perumahan tempat saya mengontrak sebelumnya,paling tidak ada empat tukang sayur yang biasa ‘mangkal’. Awalnya saya berpikir hal tersebut wajar,mengingat area perumahan tersebut cukup padat penduduk. Akan tetapi, saat saya pindah ke rumah baru di area perumahan yang baru beberapa biji saja, saya terheran-heran ternyata ada tiga tukang sayur mangkal bahkan kadang lebih. Jauh berbeda dengan kota kelahiran saya, yang meskipun pemukiman padat tapi tukang sayurnya tak ‘sepadat’ di Ungaran.

Setelah setahun lebih saya menjadi langganan ketiga tukang sayur tersebut, ternyata mereka memiliki spesifikasi dan pangsa pasar tersendiri. Jadi meskipun persaingan cukup ketat tetapi mereka bisa bertahan.
Tukang sayur pertama, datang sekitar pukul lima pagi. Dagangannya memang selalu terkesan berantakan dan harganya memang lebih murah dari tukang sayur yang lain. Biasanya langganan Pak Roni, nama si tukang sayur, adalah para ibu pekerja yang tidak memiliki ART alias asisten rumah tangga. Mereka tentu harus masak lebih pagi dan menyiapkan semua makanan sebelum berangkat bekerja. Pak Roni orang yang cukup ramah, banyak bercanda, tetapi penampilannya selalu terlihat baru bangun tidur. ‘Baju kerja’ sehari-harinya adalah sweater butut berwarna coklat, ia pun tidak pernah menggunakan helm. Dan Pak Roni libur berdagang setiap hari Senin.

Tukang sayur selanjutnya datang sekitar pukul setengah tujuh pagi. Saya tidak kenal namanya, tapi menurut saya dia tipe tukang sayur yang mriyayi. Liburnya pun mirip PNS, tiap Sabtu dan Minggu. Dagangannya tentu berbeda dengan tukang sayur sebelumnya, selalu tertata rapi dan terlihat fresh, baik sayuran maupun aneka lauknya. Mirip dagangan di supermarket, hehehe.. Penampilannya pun terlihat rapi dengan kemeja, sepatu, dan topi. Sekalipun harganya sedikit mahal,tapi saya suka belanja di tukang sayur ini. Sayuran yang terbeli tidak akan ada yang mubadzir dibuang percuma karena busuk atau berulat. Si bapak selalu bilang, dia selalu menyeleksi dulu setiap sayur yang akan dijualnya.  Lauknya pun sangat bermacam-macam, ada aneka daging, seafood, hingga frozen food. Keunggulan lainnya adalah buah-buahan yang juga variatif. 

Tukang sayur terakhir, datang siang hari sekitar pukul sembilan dan libur setiap hari Minggu. Tentu saja pelanggannya adalah ibu-ibu rumah tangga. Lek Muh, panggilan tukang sayur tersebut. Kualitas dagangannya hampir mirip dengan Pak Roni, tapi lebih variatif. Untuk harga bumbu-bumbu dapur, dagangan Lek Muh inilah yang paling murah sehingga saya pun sering belanja pada Lek Muh. Belanja di Lek Muh pun cukup menyenangkan karena tentu saja dibumbui obrolan panjang antar pembeli. Terkadang informasi-informasi penting perihal kegiatan komplek bisa didapatkan dari obrolan di tukang sayur.

Yah, tukang sayur adalah salah satu ‘pahlawan’ saya juga. Saya yang sama sekali tidak berbakat belanja di pasar ini, bisa memenuhi kebutuhan belanja harian dari para tukang sayur .Mereka menyelamatkan keluarga saya dari kekurangan gizi tentunya. Dan semahal-mahalnya tukang sayur lebih mahal lagi supermarket. Jadi, Go Ungaran Go Tukang Sayur, hehehe..        

Minggu, 01 Juni 2014

Fatih Satu Setengah Tahun

Fatih sudah menjelang 19 bulan..

Yup,waktu berlalu begitu cepat dan tiba-tiba Fatih sudah mahir berkata-kata. Jika dihitung, Fatih sudah mampu mengucapkan dan mengerti lebih dari 40 kata. Dia juga sudah memahami berbagai perintah sederhana dan menuruti perintah tersebut. Motorik kasarnya juga berkembang sesuai usia, dia sudah mulai bisa berlari, berjalan di jalanan menurun tanpa terjatuh, naik turun kursi/tangga dengan lancar dan bisa memposisikan duduknya dengan benar. Fatih juga semakin lihai makan sendiri dengan sendok, meski masih tercecer sedikit demi sedikit. Dan..Fatih sudah mulaimenirukan beberapa gerakan shalat, kemampuan ini yang paling membuat saya bangga.

Saya pun sudah mulai tidak lagi mengkhawatirkan berat badan dan pola makan Fatih, sekalipun dibilang mungil saya tak lagi peduli. Saya tetap berusaha menghidangkan makanan lezat dan bergizi untuknya, tapi saya tidak lagi terlalu setres saat dia tidak menghabiskan makanannya. Buah-buahan dan juz segar adalah pengobat kekhawatiran saya akan asupan gizi Fatih, selama dia masih lahap dengan buah-buahan saya rasa saya tidak perlu terlalu worry.

Hanya saja, saya sedikit khawatir dengan pemahaman Fatih tentang konsep ’bapak’. Yah, sejak ditinggal bapaknya ke Korsel tujuh bulanan yang lalu, kami memang hanya berkomunikasi melalui Skype. Fatih terkadang masih mau menjawab dan mendengar pembicaraan bapaknya, selebihnya dia pun bermain sendiri seperti biasa. Nah, beberapa waktu yang lalu, Fatih sering menunjuk gambar laki-laki dengan kata ‘bapak’, sehingga menurut saya dia mengasosiasikan bapak dengan gambar-gambar laki-laki tersebut. Saya yakin betul kalau Fatih tidak benar-benar mengerti siapa itu bapak dan apa peran serta fungsinya dalam kehidupan Fatih. 

Bagi saya, dan mungkin bagi suami,persoalan ini cukup pelik apalagi jika Fatih terpaksa tidak bisa mengenal bapaknya hingga 3 tahunke depan. Saya ingat, dari sebuah seminar parenting,bahwa peran ayah pun penting untuk membentuk karakter dan kepribadian anak dan tentu saja sebagai teladan juga pendisiplin anak. Yah, saya akui, terkadang saya sedemikian longgar kepada Fatih dan tidak bisa member contoh yang terbaik..

Fatih, tumbuhlah dewasa dan doakan bapak ibu agar bisa selalu bersama dalam mendidikmu dan adik-adikmu kelak Nak..




Rabu, 05 Maret 2014

Para Emak Tangguh

Setelah menulis tentang anak-anak, kali ini saya ingin menulis tentang ibu-ibu. Bapaknya jangan protes dulu ya kalau belum kebagian.. Ternyata di sekitar saya banyak sekali ibu-ibu pejuang, yang tangguh dan sekaligus lembut. Selain ibu dan ibu mertua saya yang sudah teruji kredibilitasnya, banyak sekali ibu-ibu lain yang sangat menginspirasi saya. 

Beberapa waktu lalu, saya untuk pertama kalinya ketemu dengan emak-emak dari Ibu-ibu Doyan Nulis Semarang. Mak Dewi yang dengan senang hati ‘mengantarkan’ saya pada pertemuan tersebut. Di sebuah kafe mngil di tengah Kota Semarang, saya bertemu dengan 3 perempuan menawan. Mak Dewi, penulis 30 buku dengan dua orang putra putri mungil. Beliau juga aktif berbisnis online. Mak Wuri, yang mantan reporter kini penulis dan juga istri yang manis. Mak Uniek, yah sudah kerja dari Senin-Sabtu, punya blog bejibun yang produktif, ikut lomba sana-sini, juga sering nongol di berbagai event. Bener-bener emak-emak yang pantas jadi panutan.

Saya juga memiliki teman-teman yang merupakan pejuang sejati. Teman semasa SMP-SMA saya, saat ini sedang hamil muda. Rumahnya di Kulon Progo tapi dia bekerja sebagai guru di Gunung Kidul. Setiap hari bolak-balik hampir 100 km.. Ia memiliki banyak pertimbangan yang memberatkannya untuk mencari tempat tinggal dekat tempat kerjanya. Saya hanya bisa berdoa, semoga ia dan bayinya sehat selalu.

Teman saya satu lagi, baru saja memiliki bayi belum genap sebulan, harus mengerjakan sendiri usaha laundry-nya karena pekerjanya cuti. Saat saya telfon, dia sedang menyetrika sambil menggendong anak keduanya. Anak pertamanya beberapa kali berusaha rusuh memindahkan pakaian yang sudah rapi. Selain tak ada ART, suaminya juga tidak peduli sama sekali. Saya ingat ceritanya saat ia hampir kehabisan darah karena keguguran, suaminya malah tetap santai main Playstation, tak mau menolong hanya karena takut melihat darah. 

Tetangga sebelah saya, bekerja juga dari Senin-Sabtu, malamnya masih bermain ceria dengan bayi mungilnya. Saya senang mendengar celotehannya mengajak bernyanyi bayinya. Duh, apa ga capek ya sudah seharian bekerja malamnya masih harus lembur urus si kecil? Saya saja dulu suka uring-uringan kalau suami saya tidak membantu momong Fatih. 

Duh, jadi malu sendiri mengingat selama ini saya sering mengeluh dalam banyak hal, sering uring-uringan sendiri, padahal saya di rumah ya cuma ngurus anak dan suami. Semoga semakin terinspirasi,setidaknya semakin rajin mengurus anak (suami kan lagi ga perlu diurus, hehe), semakin rajin bikin rumah kinclong, dan juga rajin merawat tanaman di taman..

Selasa, 04 Maret 2014

Anak-anak, Sang Pecinta Sejati

Sebagian besar tetangga saya adalah kaumpekerja,baik si bapak atau pun ibunya. Hanya beberapa gelintir saja, termasuk saya, yang tidak bekerja di luar rumah. Dengan kondisi tersebut, keluarga yang keduanya harus meninggalkan rumah dari pagi hingga petang, harus menitipkan anak-anak mereka kepada orang lain. Beberapa memilih untuk memiliki asisten rumah tangga (ART), beberapa memilih menitipkan ke playgroup, dan beberapa menitipkan kepada orang tua mereka.

Tidak seperti suami saya yang PNS dan bekerja hanya dari hari Senin sampai Jumat, para tetangga saya kebanyakan harus bekerja bahkan hingga hari Sabtu malam. Bagi yang bekerja di pabrik, terkadang mereka harus lembur hingga larut malam. Alhasil, waktu untuk bermain bersama anak-anak pun menjadi sangat minim. Belum lagi jika hari Minggu-nya si bapak dan ibu lelah menghadapi balita mereka, maka si kecil pun terpaksa harus ikut pengasuhnya juga.

Bagaimanapun juga,bekerja adalah tuntutan demi mendapatkan kehidupan yang layak. Kondisi perekonomian yang dirasa semakin berta dan tuntutan zaman yang semakin bejibun tentu menjadi pertimbangan sendiri untuk mengerahkan segala kemampuan. Lalu bagaimana dengan anak mereka?? Bagaimana kalau mereka merasa kurang kasih sayang?

Yah, bagi saya anak-anak adalah pecinta sejati, mereka tidak akan pernah merasa kekurangan cinta. Mungkin sebagian besar orang akan beranggapan bahwa orang tua adalah pecinta yang tanpa pamrih, tapi untuk saya malah sebaliknya . Anak-anak benar-benar pecinta tanpa pamrih.

Saya takjub, dikala si anak tetap riang menyambut orang tua mereka pulang bekerja, meski  mereka hampir seharian tak bersama . Saya kagum, saat si bayi masih saja mengenali ibunya meski ia tak disusui langsung. Saya terpesona,pada gelayut manja si kecil pada ayahnya meski hanya sesekali mereka bertatap. Ah ya, anak-anak adalah pecinta yang ulung. Mereka tetap mencintai dan mereka tahu orang tua mereka mencintai mereka meski tak selalu terungkapkan. 

Orang tua mungkin berharap anak-anak akan tetap berbakti pada mereka saat nanti dewasa, tapi anak-anak tidak juga berpikir agar di masa depan orang tua mereka lebih sayang pada mereka. Orang tua mungkin masih berharap si anak akan membanggakan mereka, tapi anak-anak tak juga berpikir orang tuanya harus menjadi hebat. Orang tua mungkin berkilah bekerja untuk masa depan anaknya, tapi anak-anak tidak juga peduli bahkan jika ia harus ditinggal pergi. Anak-anak mencintai tanpa pamrih,mereka tak berharap apapun.

Buat saya, anak-anak lah yang mengajari saya untuk terus mencintai tanpa pamrih, tanpa berharap dan sekaligus tanpa pernah putus asa.


Minggu, 02 Maret 2014

Jalan-jalan Minggu Pagi

Minggu pagi saya iseng ngajak Fatih jalan-jalan ke alun-alun mini Ungaran. Niatnya saya ingin mengambil uang di ATM yang kebetulan berada di dekat alun-alun sekalian mengajak Fatih untuk bermain. Alun-alun tersebut memang berubah menjadi pasar pagi setiap hari minggu. Berbagai barang dijajakan, mulai dari fashion, kuliner, hingga furnitur. Selain itu ada juga penjaja aneka wahana bermain anak-anak seperti odong-odong, becak mini, komidi putar, mandi bola, kereta mini, dan sebagainya. Sejak pindah rumah dari kontrakan (yang kebetulan dekat dengan alun-alun) saya tidak pernah lagi menyambangi pasar pagi. Jadi,mumpung cuaca cerah saya pun ingin sedikit rekreasi kesana.

Setelah shalat subuh, saya langsung meracik sarapan sembari merebus air untuk mandi Fatih. Rebusan air dan sarapan telah siap tapi Fatih belum juga bangun. Terpaksa saya bangunkan karena saya tidak ingin kesiangan. Fatih mandi masih dengan setengah melek, tapi dia bisa sarapan dengan lahap.

Sampai di kawasan sekitar alun-alun, saya memarkir motor di pinggir jalan, dekat penjual pakaian muslim ala hijabers. Saya sempat melirik tertarik pada deretan bawahan berbahan kaos. Ah, andai bisa beli sebiji saja, tapi saya ingat bahwa budget bulan ini terlalu ketat untuk sekedar melirik busana baru.

Saya lanjut berjalan menuju ATM dan wufff..lautan manusia sudah berjubel di depan saya. Beberapa minggu lalu Ungaran memang selalu dilanda hujan setiap minggu pagi, mungkin karena hari ini cerah maka banyak orang yang memanfaatkannya, termasuk saya. Atau mungkin saja,memang alun-alun ini selalu seramai ini setiap pagi.. 

Setelah berhasil mencapai ATM dengan menyibak kerumunan orang, saya lanjutkan jalan-jalan dengan mengelilingi alun-alun, tapi belum sampai setengah jalan saya merasa pusing. Ya,saya memang sedikit phobia dengan keramaian. Setiap kali berada di keramaian saya akan merasa pusing, mual, tidak bisa fokus, dan sedikit bingung. Maka bergegas saya menuju masjid alun-alun, mengurungkan niat saya untuk mengajak Fatih naik odong-odong.

Alhamdulillah, di masjid terparkir sebuah mobil baca milik perpusda Semarang. Sebuah box berisi buku anak-anak diletakkan di teras masjid. Lega rasanya bisa duduk di ruang yang lapang dan tentu menurunkan Fatih dari gendongan. Fatih tidak terlihat tertarik dengan buku-buku yang saya pilih, dia justru berlari-lari mengelilingi teras masjid dan melongok ke kolong tangga masjid. Saya mengawasinya sambil membaca beberapa majalah.

Menyenangkan sebenarnya jika banyak tempat publik bisa digunakan sebagai perpustakaan seperti ini. Tidak hanya wisata konsumtif saja yang harus berkembang, wisata membaca pun juga harus dibiasakan. Konsumsi buku kita mungkin masih sangat rendah dibandingkan konsumsi fashion. Yah, bisa dilihat di satu titik saja seperti alun-alun ini, dari sekian banyak penjual ternyata saya tidak menemukan penjual buku. Mungkin begitu juga dengan pasar tiban lainnya. 

Ah,jadi dapat ide, mungkin saya akan berjualan buku saja suatu saat nanti. Saya akan menjual buku dengan mendirikan tenda buku, selain itu juga ada story telling-nya sehingga anak-anak lebih tertarik untuk datang.