Rabu, 05 Maret 2014

Para Emak Tangguh

Setelah menulis tentang anak-anak, kali ini saya ingin menulis tentang ibu-ibu. Bapaknya jangan protes dulu ya kalau belum kebagian.. Ternyata di sekitar saya banyak sekali ibu-ibu pejuang, yang tangguh dan sekaligus lembut. Selain ibu dan ibu mertua saya yang sudah teruji kredibilitasnya, banyak sekali ibu-ibu lain yang sangat menginspirasi saya. 

Beberapa waktu lalu, saya untuk pertama kalinya ketemu dengan emak-emak dari Ibu-ibu Doyan Nulis Semarang. Mak Dewi yang dengan senang hati ‘mengantarkan’ saya pada pertemuan tersebut. Di sebuah kafe mngil di tengah Kota Semarang, saya bertemu dengan 3 perempuan menawan. Mak Dewi, penulis 30 buku dengan dua orang putra putri mungil. Beliau juga aktif berbisnis online. Mak Wuri, yang mantan reporter kini penulis dan juga istri yang manis. Mak Uniek, yah sudah kerja dari Senin-Sabtu, punya blog bejibun yang produktif, ikut lomba sana-sini, juga sering nongol di berbagai event. Bener-bener emak-emak yang pantas jadi panutan.

Saya juga memiliki teman-teman yang merupakan pejuang sejati. Teman semasa SMP-SMA saya, saat ini sedang hamil muda. Rumahnya di Kulon Progo tapi dia bekerja sebagai guru di Gunung Kidul. Setiap hari bolak-balik hampir 100 km.. Ia memiliki banyak pertimbangan yang memberatkannya untuk mencari tempat tinggal dekat tempat kerjanya. Saya hanya bisa berdoa, semoga ia dan bayinya sehat selalu.

Teman saya satu lagi, baru saja memiliki bayi belum genap sebulan, harus mengerjakan sendiri usaha laundry-nya karena pekerjanya cuti. Saat saya telfon, dia sedang menyetrika sambil menggendong anak keduanya. Anak pertamanya beberapa kali berusaha rusuh memindahkan pakaian yang sudah rapi. Selain tak ada ART, suaminya juga tidak peduli sama sekali. Saya ingat ceritanya saat ia hampir kehabisan darah karena keguguran, suaminya malah tetap santai main Playstation, tak mau menolong hanya karena takut melihat darah. 

Tetangga sebelah saya, bekerja juga dari Senin-Sabtu, malamnya masih bermain ceria dengan bayi mungilnya. Saya senang mendengar celotehannya mengajak bernyanyi bayinya. Duh, apa ga capek ya sudah seharian bekerja malamnya masih harus lembur urus si kecil? Saya saja dulu suka uring-uringan kalau suami saya tidak membantu momong Fatih. 

Duh, jadi malu sendiri mengingat selama ini saya sering mengeluh dalam banyak hal, sering uring-uringan sendiri, padahal saya di rumah ya cuma ngurus anak dan suami. Semoga semakin terinspirasi,setidaknya semakin rajin mengurus anak (suami kan lagi ga perlu diurus, hehe), semakin rajin bikin rumah kinclong, dan juga rajin merawat tanaman di taman..

Selasa, 04 Maret 2014

Anak-anak, Sang Pecinta Sejati

Sebagian besar tetangga saya adalah kaumpekerja,baik si bapak atau pun ibunya. Hanya beberapa gelintir saja, termasuk saya, yang tidak bekerja di luar rumah. Dengan kondisi tersebut, keluarga yang keduanya harus meninggalkan rumah dari pagi hingga petang, harus menitipkan anak-anak mereka kepada orang lain. Beberapa memilih untuk memiliki asisten rumah tangga (ART), beberapa memilih menitipkan ke playgroup, dan beberapa menitipkan kepada orang tua mereka.

Tidak seperti suami saya yang PNS dan bekerja hanya dari hari Senin sampai Jumat, para tetangga saya kebanyakan harus bekerja bahkan hingga hari Sabtu malam. Bagi yang bekerja di pabrik, terkadang mereka harus lembur hingga larut malam. Alhasil, waktu untuk bermain bersama anak-anak pun menjadi sangat minim. Belum lagi jika hari Minggu-nya si bapak dan ibu lelah menghadapi balita mereka, maka si kecil pun terpaksa harus ikut pengasuhnya juga.

Bagaimanapun juga,bekerja adalah tuntutan demi mendapatkan kehidupan yang layak. Kondisi perekonomian yang dirasa semakin berta dan tuntutan zaman yang semakin bejibun tentu menjadi pertimbangan sendiri untuk mengerahkan segala kemampuan. Lalu bagaimana dengan anak mereka?? Bagaimana kalau mereka merasa kurang kasih sayang?

Yah, bagi saya anak-anak adalah pecinta sejati, mereka tidak akan pernah merasa kekurangan cinta. Mungkin sebagian besar orang akan beranggapan bahwa orang tua adalah pecinta yang tanpa pamrih, tapi untuk saya malah sebaliknya . Anak-anak benar-benar pecinta tanpa pamrih.

Saya takjub, dikala si anak tetap riang menyambut orang tua mereka pulang bekerja, meski  mereka hampir seharian tak bersama . Saya kagum, saat si bayi masih saja mengenali ibunya meski ia tak disusui langsung. Saya terpesona,pada gelayut manja si kecil pada ayahnya meski hanya sesekali mereka bertatap. Ah ya, anak-anak adalah pecinta yang ulung. Mereka tetap mencintai dan mereka tahu orang tua mereka mencintai mereka meski tak selalu terungkapkan. 

Orang tua mungkin berharap anak-anak akan tetap berbakti pada mereka saat nanti dewasa, tapi anak-anak tidak juga berpikir agar di masa depan orang tua mereka lebih sayang pada mereka. Orang tua mungkin masih berharap si anak akan membanggakan mereka, tapi anak-anak tak juga berpikir orang tuanya harus menjadi hebat. Orang tua mungkin berkilah bekerja untuk masa depan anaknya, tapi anak-anak tidak juga peduli bahkan jika ia harus ditinggal pergi. Anak-anak mencintai tanpa pamrih,mereka tak berharap apapun.

Buat saya, anak-anak lah yang mengajari saya untuk terus mencintai tanpa pamrih, tanpa berharap dan sekaligus tanpa pernah putus asa.


Minggu, 02 Maret 2014

Jalan-jalan Minggu Pagi

Minggu pagi saya iseng ngajak Fatih jalan-jalan ke alun-alun mini Ungaran. Niatnya saya ingin mengambil uang di ATM yang kebetulan berada di dekat alun-alun sekalian mengajak Fatih untuk bermain. Alun-alun tersebut memang berubah menjadi pasar pagi setiap hari minggu. Berbagai barang dijajakan, mulai dari fashion, kuliner, hingga furnitur. Selain itu ada juga penjaja aneka wahana bermain anak-anak seperti odong-odong, becak mini, komidi putar, mandi bola, kereta mini, dan sebagainya. Sejak pindah rumah dari kontrakan (yang kebetulan dekat dengan alun-alun) saya tidak pernah lagi menyambangi pasar pagi. Jadi,mumpung cuaca cerah saya pun ingin sedikit rekreasi kesana.

Setelah shalat subuh, saya langsung meracik sarapan sembari merebus air untuk mandi Fatih. Rebusan air dan sarapan telah siap tapi Fatih belum juga bangun. Terpaksa saya bangunkan karena saya tidak ingin kesiangan. Fatih mandi masih dengan setengah melek, tapi dia bisa sarapan dengan lahap.

Sampai di kawasan sekitar alun-alun, saya memarkir motor di pinggir jalan, dekat penjual pakaian muslim ala hijabers. Saya sempat melirik tertarik pada deretan bawahan berbahan kaos. Ah, andai bisa beli sebiji saja, tapi saya ingat bahwa budget bulan ini terlalu ketat untuk sekedar melirik busana baru.

Saya lanjut berjalan menuju ATM dan wufff..lautan manusia sudah berjubel di depan saya. Beberapa minggu lalu Ungaran memang selalu dilanda hujan setiap minggu pagi, mungkin karena hari ini cerah maka banyak orang yang memanfaatkannya, termasuk saya. Atau mungkin saja,memang alun-alun ini selalu seramai ini setiap pagi.. 

Setelah berhasil mencapai ATM dengan menyibak kerumunan orang, saya lanjutkan jalan-jalan dengan mengelilingi alun-alun, tapi belum sampai setengah jalan saya merasa pusing. Ya,saya memang sedikit phobia dengan keramaian. Setiap kali berada di keramaian saya akan merasa pusing, mual, tidak bisa fokus, dan sedikit bingung. Maka bergegas saya menuju masjid alun-alun, mengurungkan niat saya untuk mengajak Fatih naik odong-odong.

Alhamdulillah, di masjid terparkir sebuah mobil baca milik perpusda Semarang. Sebuah box berisi buku anak-anak diletakkan di teras masjid. Lega rasanya bisa duduk di ruang yang lapang dan tentu menurunkan Fatih dari gendongan. Fatih tidak terlihat tertarik dengan buku-buku yang saya pilih, dia justru berlari-lari mengelilingi teras masjid dan melongok ke kolong tangga masjid. Saya mengawasinya sambil membaca beberapa majalah.

Menyenangkan sebenarnya jika banyak tempat publik bisa digunakan sebagai perpustakaan seperti ini. Tidak hanya wisata konsumtif saja yang harus berkembang, wisata membaca pun juga harus dibiasakan. Konsumsi buku kita mungkin masih sangat rendah dibandingkan konsumsi fashion. Yah, bisa dilihat di satu titik saja seperti alun-alun ini, dari sekian banyak penjual ternyata saya tidak menemukan penjual buku. Mungkin begitu juga dengan pasar tiban lainnya. 

Ah,jadi dapat ide, mungkin saya akan berjualan buku saja suatu saat nanti. Saya akan menjual buku dengan mendirikan tenda buku, selain itu juga ada story telling-nya sehingga anak-anak lebih tertarik untuk datang.