Semasa saya kecil hingga menjadi dewasa, saya adalah orang
yang cenderung cuek terhadap tetangga sekitar. Saya juga tidak banyak terlibat
dalam agenda-agenda remaja kampung, terlebih karena saat beranjak remaja saya
tinggal di pesantren. Lulus pesantren dan lanjut kuliah pun saya tidak lantas
berkecimpung dalam urusan domestik rukun kampung, justru saya banyak bergaul
dan melakukan berbagai kegiatan sosial di luar. Saat itu saya berpikir bahwa
ibu saya sudah cukup mewakili keberadaan keluarga kami di kampung,apalagi ibu
dikenal sebagai sosok yang entengan
oleh para tetangga.
Saat masih unyu-unyu,
saya memang anak yang sedikit introvert dan mungkin aneh. Masa taman
kanak-kanak saya lalui dengan hambar. Tak banyak anak sebaya yang mau berteman
dengan saya. Bahkan tak jarang saya harus melamun saat jam istirahat karena tak
satupun teman yang mengijinkan saya menyentuh mainan di sekolah. Ditambah lagi,
saya menderita TBC akut saat itu,sehingga saya sering absen sekolah.
Sifat geeky saya
berlanjut hingga sekolah dasar. Saya tetap gadis aneh yang matanya pernah
ditusuk pensil oleh teman sekelas karena saking
tak sukanya dia pada saya. Saya yang bertubuh ceking pun mendapat panggilan paraban dari teman-teman.Biting alias lidi menjadi panggilan
tetap saya hingga lulus SD. Bahkan saya akan merasa aneh ketika ada teman yang
memanggil nama asli saya.
Tapi entah apa yang terjadi, saya sendiri pun tak ingat
pasti. Pada catur wulan pertama kelas 4 SD, saya tiba-tiba saja mendapat tempat
di tiga besar juara kelas. Padahal sebelumnya ranking saya takpernah beranjak
dari sepuluh atau delapan. Sejak saat itulah beberapa teman mulai mendekat. Saya
yang jarang membawa uang jajan pun kadang bisa tersenyum manis mendapat tawaran
makanan dari teman sekelas. Saya entah bagaimana berubah menjadi gadis yang
biasa saja. Mau berteman dan punya banyak teman. Apalagi ranking saya terus
naik dan bertahan berturut-turut menjadi juara pertama. Saya juga sering didaulat
menjadi perwakilan sekolah dalam berbagai lomba.
Masa-masa
selanjutnya menjadi masa gemilang bagi saya. Saya tidak pernah lepas dari
berbagai ‘jabatan penting’ di bangku sekolah menengah maupun di universitas. Selain
menjadi ketua kelas, saya juga pernah menjadi sekretaris OSIS,wakil OSIS, dan
ketua OSIS. Saya pun memimpin marching band alias jadi mayoret dan juga
memimpin grup paskibra sekolah.
Saat kuliah, saya
menjadi wakil ketua di angkatan saya, menjadi sekretaris himpunan mahasiswa
jurusan (HMJ) , dan akhirnya menjadi ketua HMJ. Berkat kiprah saya di beberapa agenda
universitas, saya pernah diusulkan untuk menjadi calon ketua BEM fakultas. Usulan
tersebut saya tolak dengan berbagai alasan meski para pendukung sempat membuat
demonstrasi yang cukup besar untuk mencalonkan saya.
Yah, tetapi semua pengalaman saya tersebut tetap saja tidak
bisa membuat saya jadi lebih lekat dengan tetangga saya. Saya akan pergi rewangan kalau ibu juga ada di lokasi
hajatan. Jika ibu pulang, saya pun memilih pulang. Lebih sering lagi saya
bengong ketika berada di tempat hajatan, tak tahu harus berbuat apa dan tak ada
juga yang menjawil saya memberi kerjaan. Saya bahkan tidak banyak kenal
nama-nama tetangga saya..
Hal tersebut berlanjut saat saya telah menikah dan masih nebeng mertua. Mertua saya tetap menjadi
kepala keluarga dalam rumah tangga saya. Saya mau rewangan, mau nyumbang
atau ikut arisan, keputusan tersebut masih di tangan mertua saya.
Akan tetapi saya pun melewati fase selanjutnya,yaitu saat
saya sudah berumah sendiri. Jauh dari orang tua dan mertua. Saya mengatur rumah
tangga saya sendiri dan juga memutuskan segala perilaku saya sendiri. Sejak itulah
muncul kesadaran dalam diri saya akan pentingnya bertetangga baik. Ketika jauh
dari keluarga, tak ada lagi yang bisa kita andalkan selain pertolongan
tetangga. Saya yang tadinya sering mengurung diri di rumah pun mulai sedikit
demi sedikit ikut nimbrung obrolan
ibu-ibu. Otomatis pula saya mendapat undangan atau jawilan dari tetangga tentang berbagai agenda hajatan di komplek
rumah saya. Ada perasaan yang terasa lain ketika saya bisa nyumbang dengan nama keluarga saya sendiri dan dengan jumlah yang
saya tentukan sendiri.
Dan sensasi puncaknya adalah ketika saya -yang baru
pertama kali ikut arisan- akhirnya mendapat arisan.
Hidup bertetangga memang
penuh dengan lika-liku, rasanya tentu berbeda dengan berteman saat masa sekolah,
mengingat tetangga adalah ‘teman abadi’ kita hingga kita tua nanti. Rukun dengan
tetangga juga bisa memberikan efek tentram dalam diri karena dengan demikian
kita bisa mendapat perlindungan sosial yang lebih menjamin daripada asuransi jenis apapun. Hehehe..
So, baik-baiklah dengan tetanggamu..