Orang tua sering menasehati bahwa hidup berumah tangga
seringkali akan lebih bermakna jika melalui laku ‘prihatin’, berakit-rakit
kehulu berenang-renang ke tepian. Yah, orang tua saya sering berkisah bagaimana
mereka menjalani awal rumah tangga mereka dengan kehidupan seadanya. Menempati
rumah tua dengan satu bilik saja, penerangan hanya satu lampu 5 watt, tidur
berlima dalam 1 kasur, makan hanya lauk garam, dan banyak hal lainnya. Begitu
pun ketika mereka telah memiliki beberapa orang anak. Bapak sering berkisah
bagaimana kakak tertua saya harus nglindur
hanya gara-gara ingin dibelikan sepeda mini, dan bapak harus berhutang tetangga
untuk membelikannya.
Kehidupan sederhana yang saya lewati semasa kecil dan juga
didikan orang tua saya memang saya rasakan memberikan kontribusi positif dalam
kehidupan saya. Setidaknya saya sendiri terbiasa dengan kesederhanaan dan lebih
menghargai kesederhanaan. Lalu bagaimana dengan keluarga saya saat ini?
Suami saya seorang PNS dengan gaji plus tunjangan yang
Alhamdulillah sangat berkecukupan. Saat menikah, saya sedang menjalani studi S2
dan malah berkesempatan sampai ke luar negri. Memang, awalnya kami hanya
mengontrak sebuah rumah kecil, tapi dalam 2 tahun kami sudah bisa membeli rumah
sendiri meski dengan mencicil. Anak kami lahir dengan serba berkecukupan, kami
dapat membelikan segala keperluannya dan bahkan sesuatu yang kadang mungkin
tidak terlalu perlu baginya. Terlebih karena anak pertama,maka otomatis kasih sayang
kami tumpah ruah untuknya.memang hidup kami tidak mulus-mulus saja,tetapi Allah
senantiasa bermuarh hati kepada kami sehingga tidak ada alas an untuk tidak
bersyukur.
Terkadang, saya khawatir jika kelak anak-anak saya tidak
lagi bisa menghargai kesederhanaan, apalagi dengan sodoran gaya hidup dan
iming-iming materi yang bertebaran saat ini. Mungkin memang benar,pengajaran
moral agama yang paling sulit adalah mengajarkan tentang kesederhanaan apalagi
jika belum pernah mengalaminya. Sulit juga meniadakan sesuatu yang bisa
diadakan,atau ‘menyederhanakan’ sesuatu yang bisa ‘tidak disederhanakan’.
Mungkin sekarang seharusnya lebih banyak mengajarkan
bersyukur kepada anak, dan mengerem keinginan pribadi untukmemenuhi segala
kebutuhan anak. Yah, orangtuanya yang harus terlebih dulu bersyukur, dan tentu
saja menahan diri dalam memenuhi nafsu pribadi. Semoga saya dan suami bisa
menjadi orang tua yang amanah, yang mampu mendidik anak menjadi manusia yang
bersahaja, lahir batin.. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar